[Perwakilan Honor K2 Asal NTB] |
JAKARTA - Nasib Tenaga Tidak
Tetap atau Tenaga Honorer K2 yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia masih
diperdebatkan. Mereka berkiprah dan tersebar di Pemerintahan Daerah seluruh
Indonesia.
Ketua Forum Honorer K2 (FHK2)
Kabupaten Sumbawa, Henny Handayati bersama Ketua Forum GTT Kabupaten Lombok
Barat, Taufiqrahman dan Ketua Forum GTT Lombok Timur, Arjuna mendatangi Wakil
Ketua, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), Fahri Hamzah di
Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta pada Kamis (15/1/2015).
Kedatangan mereka selepas
mengadakan aksi unjukrasa di halaman Istana Negara menuntut kejelasan status K2
seluruh Indonesia. Menurut mereka saat ditemui Sumbawanews.com di ruang kerja
Fahri Hamzah, para honorer K2 telah mengabdi minimal 10 tahun dengan bayaran
bervariasi mulai dari Rp100 ribu setiap bulan hingga dibayar tiga bulan sekali.
Sekelumit potret itu
menceritakan kepada bangsa ini akan perlunya kehadiran negara untuk bersikap
dan memberikan kepastian hukum bagi anak bangsa yang telah secara ikhlas dan
penuh dedikasi mengabdikan diri kepada tanah tumpah darah tempat mereka
dilahirkan.
Negara melalui eksekutif dan
legislatif diminta memberikan keputusan tetap yang mengatur batas waktu
pengangkatan honorer K2. Pemerintah harus dapat memberi kepastian hukum dan
ketenangan dalam pengabdian mereka karena setiap hari usia mereka semakin
kurang produktif untuk merima tantangan dalam kompetisi kehidupan.
Pertimbangan itu harus
dikedepankan oleh pengambil kebijakan untuk menyelamatkan generasi honorer K2
yang selalu menjadi tumbal angin surga dalam setiap kesempatan menuju status
Pegawai Negeri Sipil (PNS).
Menurut Arjuna, kisah pahit
dialami honorer K2 dilaluinya seperti permainan bola pingpong. Dari daerah
tempatnya berkerja, ia meminta kejelasan status honorer K2. Oleh Pemerintahan
Daerah, mereka dihalusinasi bahwa tanggungjawab penentu status K2 berada di
Tingkat Pusat. Oleh Tingkat Pusat status K2 dilempar ke Pemerintahan Daerah.
Cara demikian bukan saja
memberikan pembelajaran buruk bagi sesama anak bangsa akan tetapi Pemerintah
dalam skala luas telah mengajarkan kepada generasi penerus bangsa tentang sikap
tak bertanggungjawab. Padahal kata Arjuna, dalam setiap pemberkasan yang
diharuskan untuk bisa keluar dari status K2 butuh tenaga dan dana yang tidak
sedikit dengan kisaran Rp5 juta hingga Rp7 juta rupiah.
Dapat dibayangkan sebutnya,
para honorer K2 yang berpenghasilan lebih dari kurang harus menutupi biaya
pemberkasan dengan cara berhutang dan menjual hartabenda yang dimiliki. Kisah
sedih ini tak hanya membuat mereka khawatir dengan kejelasan status namun juga
memberi peluang kepada mereka untuk tetap dalam tekanan tak berujung karena
tidak adanya kepastian hukum yang mengatur status masadepan honorer K2.
Sebagai sesama warga Nusa
Tenggara Barat (NTB) kata Taufiqrahman, ia bersama dua rekannya mendatangi
Wakil Ketua DPR RI, Fahri Hamzah (F-PKS) dapil NTB untuk meminta DPR RI
berpihak kepada honorer K2 dalam bentuk mendorong Pemerintah memberikan
kepastian hukum. Tanpa ada kepastian hukum sangat sulit membangun komunikasi
beradab antara pemerintah dan rakyatnya.
“Semuanya harus diatur melalui
kepastian hukum agar pemerintahan bisa berjalan sesuai aturan,” kata Arjuna
saat itu.
Kedatangan ketiga Ketua Forum
ini disambut baik oleh Wakil Ketua DPR RI, Fahri Hamzah yang saat itu berada di
Turki untuk tugas kenegaraan. Melalui pesan singkat Fahri Hamzah yang dibacakan
oleh salah seorang stafnya, Fahri Hamzah menerima aspirasi honorer K2 untuk
dibahas di Komisi II DPR RI dan meminta maaf karena dirinya tidak bisa bertatap
muka dengan mereka. Namun demikian, ketiga Ketua Forum ini mengaku puas
mendatangi Wakil Ketua DPR RI, Fahri Hamzah yang disebutnya dapat menjembatani
aspirasi mereka. (sumbawanews.com)
0 komentar:
Posting Komentar