[ Taufiqurrahman, Ketua Asosiasi Guru dan Tenaga Kependidikan Honorer Prov. NTB ] |
Penegakan hukum di negeri ini terasa lemah. Seakan-akan tumpul sebelah. Ketika
giliran wong cilik yang tersandung hukum, seakan-akan hukum itu tidak berdaya.
Inilah cermin buruk penegakan hukum di negeri ini.
Bagaimana tidak, tenaga honorer yang mengabdi di
instansi pemerintah seakan-akan terlepas dari perlindungan hukum. Persoalan
yang menghimpit tenaga honorer di tempatnya mengabdi cukup kompleks. Terjadi
intimidasi, pemberian honorarium jauh dari kriteria hidup layak (KHL),
pengosongan jam mengajar hingga berakibat pemecatan oleh kepala sekolah.
Hal demikian selalu menghantui tenaga honorer dalam
melaksanakan tugasnya. Persoalan ini harus di akhiri, karena sangat
bertentangan dengan amanat undang-undang. Sesuai dengan isi yang terkandung
dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) tahun 1945 alinea ke-4 dan pasal 27
ayat 2 UUD yang berbunyi “Tiap-tiap warga Negara berhak atas pekerjaan dan
kehidupan yang layak bagi kemanusiaan.”
Ketika guru terkena masalah hukum khususnya yang
berkaitan dengan tugasnya sebagai guru, ia seolah harus berjuang
sendiri. Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen pasal 7
ayat (1) huruf h mengamanatkan bahwa guru harus memiliki jaminan perlindungan
hukum dalam melaksanakan tugas keprofesionalannya. Selanjutnya pada pasal
39 secara rinci dinyatakan:
(1) Pemerintah,
pemerintah daerah, masyarakat, organisasi profesi, dan/atau satuan pendidikan
wajib memberikan perlindungan terhadap guru dalam pelaksanaan tugas.
(2) Perlindungan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi perlindungan hukum, perlindungan
profesi, serta perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja.
(3) Perlindungan
hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mencakup perlindungan hukum terhadap
tindak kekerasan, ancaman, perlakuan diskriminatif, intimidasi, atau perlakuan
tidak adil dari pihak peserta didik, orang tua peserta didik, masyarakat,
birokrasi, atau pihak lain.
(4) Perlindungan
profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mencakup perlindungan terhadap pemutusan
hubungan kerja yang tidak sesuai dengan peraturan perundangundangan, pemberian
imbalan yang tidak wajar, pembatasan dalam menyampaikan pandangan, pelecehan
terhadap profesi, dan pembatasan/pelarangan lain yang dapat menghambat guru
dalam melaksanakan tugas.
(5) Perlindungan
keselamatan dan kesehatan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mencakup
perlindungan terhadap risiko gangguan keamanan kerja, kecelakaan kerja,
kebakaran pada waktu kerja, bencana alam, kesehatan lingkungan kerja, dan/atau
risiko lain.
Uraian undang-undang tersebut di atas menunjukan,
perlindungan bagi guru merupakan hal yang mutlak. Tetapi sayangnya,
banyak guru yang bekerja dalam ketidakpastian baik berkaitan dengan status
kepegawaian, kesejahteraan, pengembangan profesi, atau pun advokasi hukum
ketika tersandung masalah hukum. [ufiq]
0 komentar:
Posting Komentar